Aku melihatmu seperti kertas putih.
Aku dapat menulis seluruh ceritaku di atasnya. Menggoyangkan pena, menggores kisah, lekukan hidupku.
Aku menganggapmu sebagai sebuah kanvas. Yang khusus tertakdirkan untukku.
Aku dapat menggambar perjalananku menuju muara hidup di tubuhnya. Membuat kuas ku menari, menguras lautan tinta tuk melukis rasa, cinta, suka, asa.
Aku merindui wangimu. Hingga ingin kuciumi nafas yang syarat dengan kisah harum kesturi yang mengundang hasrat tuk menciptakan sarang bagimu. Sampai-sampai ingin sekejap saja aku merasakan melihat dengan matamu. Melihat segala jenis kesedihan yang kau sulap menjadi permata perjuangan.
Aku menyukai senyummu. Yang menginspirasi lidahku, tuk bertutur tentangmu. Meski hingga mulutku membusa, tapi tak kan pernah ku mengeluh kelelahan atau merasa jemu.
Aku mengagumimu karena engkau adalah laut.
Laut yang airnya semakin membuatku haus.
Laut ilmu dan keceriaan yang tak kan lelah ku selami.
Laut yang indahnya melarang mataku terpejam. Bukan tuk sekedar puaskan pandangan. Lebih dari itu, mencuri masa untuk menumpuk kenangan.
Namun, kau hanya berlalu. Bukan aku yang berjalan menjauhimu. Sekali lagi kau berlalu. Sebelum puas aku merampas volume yang kau miliki. Sebelum aku berani mengatakan pada mu sebuah kalimat cinta. Kau tlah berlalu bersama suara angin malam yang sekarang menemani dudukku di sebuah bangku. Sebuah bangku tua yang penuh debu. Yang menjadi saksi rasaku. Sesalku. Karena kediamanku saat kau melambaikan tangan perpisahanmu. Karena inginku belum terucap. Inginku untuk menjadi lebih dari sekedar tokoh yang mampir dalam perjalananmu.
Dan potongan kue kerinduan ini menghantuiku, yang dengan sombong waktu terus menciptakannya, karena keberlaluanmu.
Kini ku hanya bisa menjamahmu dalam kawah imajiku, dan berharap berbincang dalam mimpiku.
Kini ku hanya bisa mengiang-iang kata-mu. "Masalah membuat kita dewasa", suatu hari dipertemuan berdua terakhir kita kau berucap.
Kini pula, aku tersadar oleh keberlaluanmu. Keberlaluan yang menjadi masalah. Keberlaluan yang mengajariku bahwa setiap pertemuan pasti berujung pada perpisahan. Keberlaluan yang mengajariku, bahwa aku seorang yang memang tak punya, tak memiliki apa-apa. Termasuk dirimu.
Tapi,
Sebagaimana yakinmu bahwa kemenangan pasti kan datang, maka kuyakinkan pula padamu, Ia mencipta ruang dan waktu untuk kita kembali bersua, mendiskusikan kisah, atau hanya tuk sekedar bertatap kemudian bersandar. Pasti ada... suatu saat yang tercipta bagi kita, untuk mencurahkan jutaan cinta yang masing2 tersimpan, di hari yang berbeda. Meski tidak hari ini, saat ini. Tapi saat itu, pasti ada.
tribute to my second mother;
luv u cz Allah
I'll miss You so much
thx 4 everything...
Ma’rifat Kopi
1 bulan yang lalu