dan bangunkanlah aku
dari mimpi indahku
terengah anganku jangan lari
dari rasa yang harus ku batasi
dan kau menawarkan rasa cinta dalam hati
ku tak tahu harus bagaimana
untuk hal bermimpi atau nyata
dan bedakan rasa dan suasana
dalam rangka sayang atau cinta yang sebenarnya
letto-Sebenarnya Cinta
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bermula dari melihat kertas putih yang tergeletak di bawah meja, mataku mulai mencari-cari sebuah pena untuk melukis di atasnya. Dan otak pun bekerja merangkai kata, agar indah dinikmati dan lembut dirasa hati.
Sejenak tangan terdiam. Kemudian akhirnya diputuskan untuk menggerakkan kaki, berpindah tempat mencari inspirasi. Dan jemari pun kembali lincah.
Kata pertama yang tertulis:
C
I
N
T
A
Sebuah kata dengan ribuan makna. Yang mungkin engkau tengah dan telah bosan melihatnya, mendengarnya, dan merasanya. Tapi tidak denganku. Kata ini bagai candu. Aku tak memiliki penawarnya. Sudah kadung overdosis. Hingga ingin kumuntahkan kata ini di depanmu. Dan disetiap satuan waktu dalam hembusan nafasku, ingin selalu kubisikkan padamu; “Aku mencintaimu.”
Cinta. Sebuah rasa yang mendorongku tuk mengenangmu di setiap titik pelabuhan muara gerakku. Rasa yang membuatku tak pernah lupa menyebut namamu dalam setiap doa yang kupanjatkan. Cinta ini yang memaksaku tuk terus berada di sisimu. Mendampingimu. Menemani kepingan mozaik perjalananmu. Tak ingin berpisah, tak rela berada jauh darimu meski seinci pun. Rasa yang tak pernah berhenti membara dalam hati. Bara yang membuat mataku selalu ingin melihat sosokmu. Bukan. Tak CUKUP! Tak cukup jika harus melihat sosokmu dari jauh. Tak cukup jika hanya melihat punggungmu saja. Aku harus mendekat. Kemudian aku memandangimu, tuk melepas rinduku. Dan sekali lagi, ingin kubisikkan di telingamu;”aku mencintaimu”.
Hingga ku merasa gila. Gilanya orang yang waras. Memikirkanmu. Memaknai setiap kata mutiara yang terlintas di benak. Memaknai cinta sejati. Cinta yang entah terbalas atau tidak, namun aku masih mampu tersenyum dan turut bahagia untukmu. Yang jika aku memilikinya, aku tak butuh apapun. Tapi jika aku kehilangan dirinya, apapun yang kumiliki tak ada artinya.
Aku memulai cinta ini dengan sebuah senyuman tulus padamu. Diiringi binarnya mataku ketika ku memandangmu. Meski kau tak pernah memintanya. Karena cinta memang senantiasa memberi. Walaupun ia membawa derita, namun tak pernah mendendam, dan tak pernah membalas dendam. Cinta inilah yang membawa kehidupan, manakala kebencian mengundang kemusnahan tuk menerkam. Cinta ini lahir dari sebuah kejujuran dan ketulusan. Yang muncul saat pertama kali bertemu denganmu. Dan untuk kesekian kalinya dalam lukisan tinta ini, biarlah kugoreskan keinginanku tuk bisikkan di telingamu; “aku mencintaimu”.
Tapi, sengaja tak pernah kuungkap kalimat indah ini di depanmu. Tak pernah sekalipun kuperdengarkan di telingamu. Bukan karena takut. Namun, memang sedikit khawatir. Khawatir jika kau tak menyukainya. Tapi itu pun tak mengapa. Toh cinta itu tak pernah merasa senang jika ia dirasakan dan dinanti. Dan dia juga tak pernah sekalipun kecewa bila diabaikan. Dia hanya berpikir untuk memberi. Sekali lagi tapi, kekhawatiran ini terlampau jauh mengungguli batas yang bisa aku terima. Hingga akal ini tak henti-hentinya mencari cara. Cara agar aku bisa ungkapkan cinta padamu, tanpa melalui kata.
Meski aku mencoba mengumpulkan segenap egoku tuk tak mencintaimu, tapi seperti yang dikatakan Pascal, hati ini selalu memiliki alasan-alasan yang tak bisa dimengerti oleh akal. Akhirnya, kuputuskan tuk mengerahkan segenap tenagaku tuk ungkap rasa ini padamu. Aku berjalan bersamamu. Berbincang menemanimu. Menatap teduh gelak tawamu. Mencoba membantumu, meski tak bisa selalu menghilangkan dukamu. Dan selalu memanjatkan doa padaNya agar memberimu yang terbaik. Melindungimu, menyayangimu, menjagamu, dan melancarkan urusanmu.
Mungkin, hanya mungkin. Dan semoga ini hanya dugaan saja. Ada atau tidaknya aku di sampingmu tak ada bedanya menurutmu. Aku bukanlah seseorang yang kau beri bingkai sebagai seorang sahabat, atau hanya sekedar kawan. Inginku jadi tempat tuk mencurahkan isi hatimu pun tak tercapai. Inginku tuk jadi orang pertama yang tahu sedihmu, pupus. Aku juga bukan menjadi seseorang yang sering tertangkap oleh mata mu untuk sekedar kau temui.
Aku bukan mereka. Anggapan itu ada dibenakku. Dan kemungkinan kuat, ada dibenakmu pula. Aku bukanlah mereka, yang mungkin lebih membuatmu nyaman. Yang kau lebih senang bergurau, tertawa hingga membahana. Mereka bukan aku. Aku yang mungkin terlalu banyak menyinggung perasaanmu dengan ucapanku. Aku yang mungkin kau bilang terlampau banyak “berceramah” di hadapanmu. Terlalu sering mengingatkanmu. Mengingatkanmu untuk meninggalkan hal-hal yang dilarangNya, yang masih sering engkau lakukan. Kau, sekali lagi mungkin merasa asing denganku karena ini.
“Siapa kau?”
Mungkin itu tanyamu. Tanyamu padaku di saat aku mengingatkanmu tuk menutup auratmu. Tanyamu padaku ketika aku mencoba meluruskan kesalahanmu. Tanyamu padaku, ketika kukatakan padamu tentang hal-hal wajib yang belum kau lakukan itu. Mungkin. Hanya mungkin. Dan mungkin untuk yang kesekian kalinya kau menjadi tak nyaman berada di sampingku.
Tapi, tahukah engkau betapa aku mencintaimu? Dan tlah kuutarakan di awal goresan, bahwa rasa cinta ini membuatku selalu ingin mendampingi setiap mozaik kehidupanmu? Dan cinta ini tak pernah mendendam, sahabat. Karena ketika kuserahkan seluruh cintaku padamu, aku tak mengharap engkau membalasnya. Hanya saja, aku akan menanti cinta itu tumbuh di hatimu. Tetapi jika tidak, aku akan tetap bahagia dan bersyukur padaNya karena cinta itu tumbuh di hatiku.
Bukan, sahabatku. Bukan aku ingin menyakitimu dengan ucapan kesalku di suatu waktu karena kau tak kunjung merubah dirimu. Hanya aku terlalu mencintaimu. Karena bukankah ini pula yang di perintahkanNya ?
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. 103; 2-3).
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat suatu golongan manusia yang bukan dari para nabi dan bukan pula syuhada, akan tetapi para nabi dan syuhada iri dengan kedudukan mereka disisi Allah pada hari Kiamat.” Para sahabat berkata, “Beritahukanlah kepada kami siapa mereka wahai Rasulullah?” Lalu Rasulullah menjelaskan, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai karena Allah bukan karena ikatan kekerabatan diantara mereka dan bukan pula karena faktor harta yang mereka harapkan, demi Allah sesungguhnya pada wajah-wajah mereka terdapat cahaya dan mereka berada diatas cahaya, mereka tidak merasa khawatir ketika manusia khawatir, dan tidak pula bersedih hati ketika manusia bersedih hati, lalu beliau membaca firman Allah, “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada diri mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62) (HR. Abu Dawud, shahih
Dan bukankah iman kita kan sempurna karena rasa cinta ini?
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”.
Tapi, memang cinta ini kuutarakan padamu bukan dengan cara mereka kebanyakan. Bukan dengan sering mengajakmu jalan-jalan, bukan dengan mengajakmu makan di tempat mewah, atau mengajakmu berbelanja. Maka sering kali ungkapan cintaku menyakitkan. Karena hanya berisi ingatan kepada kematian. Dan indahnya surga yang menantimu, menantiku, kawan.
Namun sungguh dalam setiap doaku, kupanjatkan pinta agar cinta ini mampu melunakkan besi, menghancurkan batu. Meski butuh waktu. Tapi tak mengapa, karena sesungguhnya manifestasi Cinta adalah Dia. Dia yang kn selalu membalas rasa ini. Rasa cintamu, cintaku. Dan tujuan cintaku padamu hanyalah satu sahabat, yakni untuk bersama-sama menujuNya. Maka ingin sekali ku menggandengmu bersamaku. Mengajakmu berlari meraihNya. Karena surga itu terlampau luas tuk kutinggali sendiri, sahabatku…
Karena cinta ini pula, ketakutan itu selalu mendatangiku. Seperti jamur yang tumbuh subur di tanah yang lembap. Ketakutan ini, ketakutan yang tak bisa kuhilangkan. Mungkin untuk selamanya. Ketakutan yang terus menjadi selimut ditidur malamku. Ketakutan yang seolah menjadi pengganti matahari dikala siangku. Sungguh aku benar-benar merasa takut. Takut jika kematian itu datang, sebelum aku berhasil memahamkan ilmuNya padamu, hingga kau hendak merubah dirimu. Takut, yang muncul karena rasa cintaku. Rasa cinta yang sekali lagi ingin kuutarakan padamu seperti Rasulullah mengutarakan pada sahabatnya;
Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal RA bahwa Rasulullah SAW meraih tangannya lalu mengatakan, “Wahai Muadz, demi Allah aku mencintaimu!” Lalu beliau bersabda, “Wahai Muadz, aku berpesan kepadamu untuk tidak meninggalkan doa setelah shalat. ‘Allahumma `ainni `ala dzikrika wa husni ibadatika’ (Ya Allah bantulah aku untuk selalu berdzikir, mensyukuri nikmatmu dan beribadah kepadamu dengan baik’.” (HR. Abu Dawud)
Rasa cinta yang tak akan pernah padam, dan membuat diri ini tak lelah tuk merengkuhmu. Karena kau adalah sahabatku. Karena kau adalah saudaraku… Aku mencintaimu sahabat.