Pages

Senin, 15 Juni 2009

LAYAKKAH DEMOKRASI?????






Tahun 1783, istilah demokrasi gencar diteriakkan. Diawali dari kemuakan bangsa eropa pada sistem monarki dan doktrin gereja, membuat Pantai Timur Amerika malah menampung semua ide kemuakan itu. Raja diganti dengan presiden, tiada lagi kaum pendeta yang atas nama Tuhan menindas rakyat. Aktivitas ekonomi dinyatakan sebagai hak seluruh rakyat bukan dominasi bangsawan. Negara Amerika Serikat adalah milik seluruh rakyat. Negara demokrasi. Begitu mereka menyebutnya.
”Democracy is from the people, by the people and for the people” Begitulah kata Abraham Lincoln yang sampai sekarang jadi pedoman Negara-negara penganut demokrasi.
“Negara Demokrasi.”
“Negara Demokrasi.”
Demokrasi…Demokrasi…Seperti sebuah kata yang mendatangkan hujan emas, Demokrasi terus bergaung di berbagai belahan dunia. Tak heran jika Indonesia pun turut serta dalam penyebar luasan “racun dunia” ini. Reformasi Indonesia tahun 1998 menggulingkan kerajaan feodal Soeharto. Rakyat menghendaki pemerintahan totaliter diganti dengan pemerintahan demokratis.
Tapi bolehlah kita tengok kondisi Negara-negara penganut demokrasi, dimulai dari sang perintis dan beberapa negara lainnya. Lalu kita sama-sama menyimpulkan pantaskah demokrasi dianut? Dan bisakah lewat demokrsai perjuangan menegakkan islam berhasil?
AMERIKA. Negara yang jadi kiblat Negara-negara di dunia sebagai Negara ideal. Pusat kemajuan teknologi, science, dan pusat perpolitikan dunia ada di sini. Bahkan markas besar PBB ada di negara super power ini. Tapi pada kenyataannya, kedaulatan rakyat di AS yang begitu diagungkan, hanyalah kedaulatan ”konglomerat”. Jabatan-jabatan di pemerintahan hanya diduduki para orang kaya atau orang yang mendapat dukungan dari para konglomerat yang sanggup membiayai kampanye ”penjualan diri”.(Noreena Hertz, The Silent Take Over Global Capitalism and The death of Democracy) Penipuan terhadap publik lewat para pejabat jadi santapan tiap hari. Dilihat dari segi moralitas, sebagai negara demokrasi Amerika Serikat tak bisa dibanggakan. 93% berpendapat bahwa tak seorang pun punya pegangan moral dalam hidup. 84% bersedia menentang ajaran agamanya, 91% mengatakan bahwa berbohong telah menjadi kebiasaan hidup mereka. 39% menyatakan pernah melakukan kejahatan yang berbeda dalam hidup mereka.(Patterson dan Kim, The day America Told the Truth)
Beralih ke negara lain. Di Swedia perceraian dan ortu tunggal mencapai lebih 50%. Bentrokan antar etnis dan rasialisme cukup terasa di Prancis dan Italia. Homoseks bahkan dilegalkan di Belanda. Orang-orang Jompo diserahkan oleh anaknya menjadi pemandangan yanng lumrahdi Eropa.(Husain Matla, Demokrasi Tersandera? Menyingkap misteri 2 ¼ abad )
Memang tak bisa secepat ini menyimpulkan kelayakan diterapkannya demokrasi. Tapi setidaknya dari kenyataan di atas sedikit kesimpulan bahwasanya tiada hal yang patut dibanggakan dari para negara penganut demokrasi. (Catatan: Ini belum semua aspek yang dibahas)
Jika kita mau berpikir lebih lanjut, pasti tak kan setuju jika demokrasi jadi pemahaman bangsa kita apalagi umat islam. Kalau sang perintis saja tak bisa dijadikan panutan dalam bidang ipoleksosbud nya, kenapa kita harus mengadopsi paham itu?
Apalagi kalau kita lihat imbasnya buat negeri kaum muslimin. Atas nama demokrasi, Amerika dan Israel membombardir Irak karena dugaan kepemilikan senjata pemusnah masal. Padahal ketika kedubes AS di jakarta mengundang Ismail Yusanto untuk melakukan pendekatan, terjadi dialog pendek. Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Ismail Yusanto. ”Mana senjata pemusnah masalnya?” merasa dituduh berbohong John Rath balik bertanya, ”Apakah anda menuduh kami berbohong?”
Singkat cerita, karena desakan dari pak Ismail pak John menyatakan bahwa memang kemungkinan tidak ada senjata pemusnah masal di Irak.(Al-Wa’ie, september 2008) Ini membuktikan bahwasanya Amerika hanya ingin menguasai minyak Irak dengan berlindung di balik jargon demokrasi.
Dengan demokrasi, Amerika semakin memperkuat pengaruhnya di negeri-negeri kaum muslim. Contoh paling dekat adalah di negeri kita tercinta ini saja. Dengan dalih demokrasi, berbagai kebijakan pemerintah lebih memihak pasar yang dikuasai para pemilik modal daripada memihak pada kepentingan rakyat. Misalnya dalam kasus kenaikan BBM yang alasannya karena standarisasi harga minyak dunia, juga untuk menghapus subsidi barang sekaligus mengalihkannya ke subsidi orang. Padahal yang dilakukan adalah untuk mengundang masuknya investor asing dalam sektor ini.
Dalam buku, Apakah Demokrasi itu? Yang disebarluaskan oleh kedubes AS untuk Indonesia, di halaman terakhir ditulis bahwa,”Demokrasi sendiri tidak menjamin apa-apa. Sebaliknya, ia menawarkan kesempatan untuk berhasil serta resiko kegagalan.” Dengan demokrasi yang tidak menjanjikan apa-apa, jelas keliru kalau kesejahteraan yang menjadi dambaan rakyat disandarkan pada proses demokrasi.
Lalu bagaimana dengan perjuangan penegakkan Islam dengan jalan demokrasi?
Seperti telah kita ketahui bersama, salah satu ciri demokrasi pada suatu negara adalah adanya Pemilu untuk menentukan konglomerat mana lagi yang akan berkuasa. Seperti Pilkada di seluruh daerah di Indonesia yang baru saja diadakan. Tapi, Pemilu yang diharapkan mendatangkan sebuah perubahan malah mendatangkan bencana baru. Terjadi kerusuhan hampir di setiap wilayah yang menyelenggarakan pemilu. Masa dari pendukung calon pejabat yang tidak menang dalam pemilu berunjuk rasa, seperti pada kasus Helmy Yahya dan pasangannya.
Sudah diketahui umum, partisipasi dalam demokrasi khususnya pemilu membutuhkan dana yang besar. Para calon pejabat yang mendapat dukungan dari para konglomerat meski ia tak punya integritas dan bahkan masih berstatus tersangka korupsi pun bisa mencalonkan diri lagi sebagai calon bupati, seperti yang terjadi di Magetan. Bahkan hingga kini masih terjadi perseilihan, karena salah satu mantan pasangan cabup-cawabup yang tidak terpilih mengajukan PK(Peninjauan Kembali) ke MA. Yang saya ketahui dari salah satu mantan pasangan cabup-cawabup Magetan ini menghabiskan dana lebih dari 19 M. Masyaallah. Saya jadi mikir, kalau dibelikan beras, dapat berapa ton ya? kalau rata-rata per cabup-cawabup dan cagub-cawabup mengeluarkan dana kampanye 20 M (bisa lebih), klo dikumpulin semua, pendidikan kita bisa gratis.(butuh dana 74,9 T untuk gratis)
Tapi anehnya, banyak dari kita yang dengan dalih memperjuangkan Islam, menghalalkan segala cara. Bahkan berjuang lewat paham laknat ini. Bahkan ada partai islam yang berkoalisi dengn partai non islam ntuk meraih kekuasaan di Jayapura. Bolehkah ini? Jelas tidak. Ada lagi yang berjuang lewat parlemen. Menjadi pejabat mungkin begitu istilahnya. Ya, ada ada saja. Saya jadi teringat cerita teman saya beberapa tahun ayng lalu. Dia menghadiri sebuah acara dialog antar partai di sebuah masjid megah sebuah PT di Yogya,hadirin serta merta tertawa ketika seorang petinggi partai islam yang mengikuti dialog tersebut mengatakan, ”Memasuki sistem yang tidak sesuai dengan islam itu memang harom, tapi demi menegakkan islam, harom-harom dikit gak papa lah.....” GUBRAK!
Bukankah ini sebuah pelecehan terhadap sang khalik?
Demokrasi membuat yang hitam jadi abu-abu. Yang biru jadi ungu. Yang islam jadi sedikit kafir. Bahkan di salah satu program debat di stasiun TV swasta, salah satu partai yang menyebut diri mereka partai islam lewat jubirnya mengatakan bahwa mereka hanya menjadikan islam sebagai substansi dan tidak memperjuangkan islam sebagai sebuah sistem pemerintahan. Apa namanya ini kalau bukan abu-abu? Apakah bisa kita benarkan dengan dalih agar diterima masyarakat tak masalah kita menjadi abu-abu lalu sedikit demi sedikit kita menghitam? Pasti anda setuju untuk mengatakan tidak. Buktinya, para pejuang islam yang sekarang duduk di kursi goyang pemerintahan tak bisa berkutik apa-apa saat RUU APP diganti dengan RUU PP. Karena apa? Ya, karena negara kita negara demokrasi bukan negara agama.
Apa kita masih akan berjuang lewat demokrasi dengan anak emasnya PEMILU? Pastinya kita semua tak mau punya andil dalam kehancuran dan dosa. Mungkin beberapa dari kita terus berusaha untuk memenangkan partai kita dalam pemilu, baru setelah menang kita ubah sistem yang ada. Bukankah ini mustahil? PEMILU lahir dari paham demokrasi yang lahir dari ideologi komunis, maka otomatis sebuah sistem yang lahir dari sebuah ideologi pastilah sistem itu akan semakin memperkokoh ideologi tersebut. Seperti sistem pendidikan kita yang kapitalistik bertujuan memperkokoh ideologi kapitalis-sekuler yang semakin bercokol. Jadi tak mungkin sang induk membiarkan sang anak membunuhnya. Dalam artian, tak mungkin ideologi kapitalis membiarkan ideologi islam bangkit lewat anaknya, DEMOKRASI. Jadi, sudah kita dapatkan jawabannya. Tak layak demokrasi kita jadikan sarana meraih kebangkitan islam yang hakiki. Wallahu’alam bishawab.

7 komentar:

Anonim mengatakan...

blog ntm ane link, boleh kan

Anonim mengatakan...

Nama ente keren juga Komando Revolusi...
pasukannya mana?
Jangan2 OMDO aja nih...gak ada aksinya.
Masih mending yang laen...he2

mari kita intropeksi diri masing2 he2

komando revolusi mengatakan...

to burjo: oks silahkan,,,,klo ada yg perlu dibenahi ant blg sj....

komando revolusi mengatakan...

to anonim: pasukan ana???
hmmmmmm....ant mgkin salh satunya mgkn.....insyaallah.....we fight together,key!

komando revolusi mengatakan...

smg sy bukan trmsuk org2 yg omdo yaw...takut juga klo ternyata sy cm omdo..bismillah..amin....

ga perlu digatekne mengatakan...

wah...antum ni gmn???ndang posting new artikel dunk...

komando revolusi mengatakan...

rung enek wktu bung!!!! yg aku post dulu ni ja monggo ant baca.... oy jane aku rep ngomong sst ke ant..tp nek ktmu wae....g pati pnting sechhhhh

Posting Komentar

silahkan bercuap-cuap----> but be responsible ya....