Pages

Sabtu, 30 Mei 2009

IBU DAN ANAK


 “Oek...........oek..........oek”
Seorang bayi mungil lahir dari seorang wanita yamg kini tengah mengatur nafasnya yang tersengal. Bayi itu kecil, Mungil dan rentan. Fragile. 

 Hari demi hari dilalui sang ibu dengan diiringi tangisan sang bayi. Kadang keras, kadang sesenggukan. Bayi itu. Kini, memang hanya bisa menangis untuk meluapkan apa yang ia rasa dan inginkan. Dan perlu kepekaan yang kuat dari sang ibu.
 Minggu demi minggu dilewati snag bayi dengan menerima didikan dari ibunya. Usianya sudah memasuki 4,5 bulan. Tubuhnya mulai lincah bergerak. Ia sudah bisa duduk tanpa bantuan org lain.
 “Aa....Aa....Aa......”
 Mulutnya menganga. Jarinya menunjuk pada sebuah benda.
 “Oh,,ini namanya buku”, jelas sang ibu.
 Perlahan, sang anak membuka lembar demi selembar buku yang ada di depannya.
 “Hya....Hya....Hya...”
 Wajahnya seringai, ketika melihat gambar sebuah bangunan.
 “oh,,,,ini namanya masjid Cordova. Suatu saat, adik pasti kesana.”
 Sang ibu terus menjelaskan dengan sabar dan perlahan tentang gambar-gambar dalam buku tersebut, meski sang anak sepertinya tak menghiraukan.

 Waktu terasa agak cepat berlari. Bayi itu mulai tumbuh menjadi balita berumur 1,5 tahun. Dia sudah mahir berjalan dan mahir mengamati setiap sesuatu yang ada disekelilingnya, meskipun yang dilakukannya hanya sebatas penginderaan, tapi alat inderanya begitu tajam. Terutama indera penglihatannya. Matanya begitu awas, megamati setiap gerakan tangan ibunya yang perlahan menunjuk pada sebuah bola tenis. Dan seperti sudah instingnya sang anak mengambil bola itu dan memberikannya pada sang ibu. 
 “ Anak pintar...Ini namanya bola tenis. Dipakai dalam permainan tenis lapangan.”
 Satu per satu informasi tentang hidup ini diberikan sang ibu pada anaknya.

 Kali ini, berbeda. Waktu begitu terasa lama bagi sang ibu yang kewalahan mengurus sang anak. Saking lelahnya ia hampir menyerah mengikuti perkembangn buah hatinya yang tlah berusia 2 tahun. Sang ibu mulai kesusahan menghadapi solah tingkah nya. Mulai kelelahan mengikuti langkah2 sang anak. Lari kesana-kemari.
 “Nak ............jangaaaaaaaaaaannnnnnnn.”
 Prak! Seringkali hal ini terjadi. Sang ibu terlambat memprotect buah hatinya. Sebuah gelas kaca akhirnya pecah dibanting sang anak. Tangan si kecil terluka karena terkena serpihan kaca gelas. Sang anak menangis dengan keras.
 “oh sayang..bunda lihat tangannya. Oh tak apa-apa Cuma sedikit berdarah kok!”
 Sang anak tersu menangis dan sang ibu terus mengoceh menenangkan.
 “Lihat gelas ini, kasihan sekali. Dia pecah dibanting adik. Jadi tidak bisa dipakai. Kasihan kan, harus dibuang.”
 Seketika sang anak berhenti menangis. Dia mengamati pecahan gelas kaca itu. Dan mulai menyadari bahwa dia terluka karena kesalahannya sendiri dan menuebabkan kerugian bagi org lain.
 “Hoh....hoh....”
 Tangannya kembali menunjuk2. Kepalanya mengangguk. Terlihat ia merasa iba pada gelas yang baru saj ia pecahkan dan melupakan luka yang ada di tangannya.

 Suatu kali, saat sang anak berumur 5 tahun, ia mengikuti lomba menggambar khusus siswa TK. Didampingi sang ibu, ia bersemangat. Namun, ketika ia telah selsai menggambar, wajahnya cemberut. Kecewa akan gambarnya yang terasa tak sebagus gambar teman2nya. Kemudian sang ibu berkata:
 “Kamu kecewa dengan hasil karyamu? Belum sesuai dengan harapanmu, ya? Bagaimana jika ibu temani untuk mebuat lagi?”
  
Begitulah sang ibu terus mendampingi anaknya. Meskipun lelah, ia berusaha terus tegar. Meski terkadang kesal, sang ibu tetap mendidiknya dengan sabar.
 Suatu kali saat ia duduk di bangku kelas 5 SD, Ia menangis karena menelan kekalahan sebuah perlombaan balap sepeda. Lalu sang ibu memeluknya, dan berkata:
“Kamu tidak marah karena kalah bukan? Kamu hanya kecewa, karena belum berhasil meraih juara. Tapi, bukankah kau masih punya kesempatan di lomba balap sepeda tahun depan?”
Sang ibu berusaha mengarahkan emosi anaknya. Sang ibu mencoba untuk memberikan penjelasan persamaan dan perbedaan macam emosi yang dirasakan anaknya.

Kini, tak terasa buah hati tercinta tlah menjadi dewasa. Gesit, pintar,, berprinsip, mandiri, mampu menganalisis setiap masalah yang ia hadapi, pun ia juga mampu menyelesaikannya.
Tak sia-sia lah segala perjuangan dan pengorbanan sang ibu ketika mendidik anaknya dari buaian hingga menjadi seperti sekarang ini.


NB:
UNTUK KAWAN2 SEPERJUANGAN: NEVER GIVE UP!
Tak usah hiraukan kata2 org yang selalu pesimis dan pragmatis. Karena suatu saat, ktika Allah menghendaki, pastilah kita berhasil mendidik umat ini.Amin


perang ideologi tak kan pernah berakhir!!!

Senin, 25 Mei 2009

perang ideologi tak kan pernah berakhir!!!

LET'S FIGHT UNDER ONE FLAG,,,ISLAM!