
Semriwing suara mereka masuk ke telinga sy yang sy pasangi headset.
"Memang tidak akan ada habisnya."
Kata seorang kawan, yang duduk tepat di samping saya. sebut saja namanya Inem(gomen ne.)

"Yah memang begitulah."

timpal lawan bicaranya, sebut saja Paijo.
Saya mulai tertarik. Apa sich memang 'yang tidak ada habisnya itu'?
diam2 sy pelankan volume.
"Memang susah kalau bicara dengan orang keras kepala."
hmmmmmmm.....sejenak aktifitas meng-coding saya hentikan.
kemudian si Inem melanjutkan....
"Tidak akan pernah ada habisnya kalau bicara tentang kebenaran."
WAKS??

hmmmmm........

saya masih terdiam. program yang tengah sy buat pun tertelantarkan. layar console pun sy biarkan. comment debugging tak sy hiraukan.
"Yah memang begitulah. tak ada habisnya. palagi orangnya mau benar sendiri..."
balas paijo sembari mengetik di laptopnya. Sementara si Inem terus bicara. dan sy paham apa yang mereka bicarakan.
Dan cukup. Sy menyetop diri. bahasan yang tidak ada habisnya ketika membahas orang2 seperti mereka yang tidak tahu arti kebenaran. Obrolan pagi yang membuat sy teringat tulisan Akang Ridho Al-Hamdi dalam buku mungilnya Melawan Arus. Ketika masih duduk di bangku SMA, sungguh senang rasanya memndapat hadiah buku dng judul yang cukup menawan. Tapi isinya?




Karena seorang penganut deisme pun pasti mengakui kebenaran. Sangat melekat di otak tulisan bang Divan yang berjudul 'Mutlaknya Relativitas'. Bagi para penganut deisme kebenaran adalah aturan yang paling memuaskan atau paling logis dan argumentative ketika di benturkan. Berarti relativitas kebenaran itu sebenarnya tidak ada. Kebenaran itu tidak relative. http://www.divansemesta.com/search/label/Mutlaknya%20Relativitas.
Jadi mana mungkin pembahasan kebenaran tidak ada habisnya? yah memang kecuali pakai kaca mata kuda.
