Pages

Jumat, 29 Oktober 2010

Hunuslah pedang Ali dan Aisyah di tempat yang pantas(Sebuah intorspeksi 16:125)

Barangkali saja namanya manusia, aktivis dakwah pun terkadang masih menyimpan sifat membuta. Ia begitu tempramental. Hingga terkadang tipis bedanya antara berargumentasi dengan mempertahankan gengsi dan emosi (al-baqa'). Padahal jika demikian, bukankah 'mundur untuk menang' adalah pilihan yang harus dilakukan? Bukan ia kalah, tetapi menghindari 'unsur setan' mestinya sebuah kemestian.

Mungkin ada hal yang terlupakan ketika kita mengedepankan otot-otot perdebatan -jika tidak dikatakan pertikaian-. Boleh jadi benar kita mempertahankan kebenaran, tetapi jika terselip kepentingan ’keperkasaan intelektual’, hingga kemudian mengakibatkan putus tali persaudaraan, bukankah dengan itu kita justru melakukan hal yang diharamkan? Ironisnya, jika keharaman itu hanya diakibatkan oleh perkara-perkara cabang, atau berupa kesalah-fahaman definisi yang masih mereka pegang. Dan na’udzubillah, jika kekisruhan itu dimunculkan atas nama ta’ashub pergerakan. Maka dimana letak tolok ukur amal (miqyasul ’amal) yang kita punya? Maka dimana kita menyembunyikan kaidah yang mengatakan bahwa menghindari kerusakan itu lebih utama dari pada mengambil kemaslahatan?

Pada saatnya kita memang perlu untuk meninggikan suara, tetapi, tetap pada saatnya. Sulit rasanya jika sejak awal kita berangkat dari kebencian. Bukan lah kita akan mendapat kebenaran, tetapi selalu saja pembenaran. Saya sendiri pernah berkata dalam hati: Lebih baik saya tak hafal dalil! Jika dengannya hanya sebagai bekal untuk menyakiti. Bukankah dakwah ini karena kita cinta, hingga menyampaikannya pun harus dengan cinta. ”Katakanlah kebenaran walau pahit!”, tetapi apa harus dengan meninggalkan luka?

Agama ini bukan untuk gagah-gagahan, Kawan. Maka seberapa toleran kita pada yang lemah? Seberapa sabarkah kita memposisikan diri sebagai ’pencerah’? Tancapkanlah dalam hati, bahwa semua aktivitas membentak, mengumpat atas nama dakwah, pada hakekatnya hanya menunjukkan bahwa diri kita lebih menguasai. Bahkan di saat yang sama, ia menunjukkan terbatasnya asa, sikap yang tergesa-gesa, atau rapuhnya jiwa kita, bahkan ia pun menunjukkan seberapa kemampuan kita.

Tegaslah jika memang harus tegas, keraslah kalau memang harus keras, tetapi semua itu harus dilandaskan atas argumentasi, bukan sekedar emosi sampai-sampai mengumbar aib tiap-tiap pribadi. Atau sesumbar dengan kebaikan-kebaikan diri. Atau pembantaian mental berupa cibiran dan hinaan yang ditujukan kepada saudara Muslim sendiri.

Dan ingatlah, Kawan, ingat! Siapa yang bergembira di balik sana di saat pedang Ali dan Aisyah -radhiyallahu ’anhum- berkelebat satu sama lain? Ah, tak perlulah aku jawab pertanyaan itu di sini. Kitapun sama-sama tahu siapa musuh sesungguhnya saat ini.

Terakhir, sengaja kubuat tulisan ini sebagai instrospeksi diri pribadi, namun barangkali akan terpakai pula oleh kawan sesama peniti jalan ini. Karena lagi-lagi, khawatirnya, kita yang mengerti konsep Gharizah Al-Baqa’ malah justru terjebak dengan Baqa’ sendiri. Khawatirnya, ilmu yang kita miliki belum cukup didukung dengan keikhlasan hati. Khawatirnya, ’kaburo maqtan ’indaLlahi..’. Khawatirnya, wal-’Iyadzubillah..

Maka sekiranya ada yang ’tersamar’, akhiri perkataan dengan istighfar. Dan jika hal itu pernah menimpamu dariku, maka tak segan-segan kukatakan padamu: Terimalah maafku, Kawan.

copied from:
http://ahsanhakim.blogspot.com/
nice writing, bro...