Pages

Senin, 13 Desember 2010

IT'S THE TIME!!!

Beberapa waktu yang lalu seorang kawan mengunjungi blog. Dan saya melakukan kunjungan balik. Ketika melihat blognya, saya jadi teringat kisah salah satu pejuang jenius favorit sy. Pemuda 21 tahun penakluk Konstantinopel. Pemuda yang memulai debutnya sebagai Sulthan dari umur 12 tahun, Pemuda yang dengan ide gilanya bisa membuat kapal berlayar di daratan. Subhanallah.kakashi
Kemudian, ini menjadi sebuah perenungan. Bagaimana dengan saya? Oh setiap hari lebih banyak waktu dihadapkan pada program code, pada compiler, pada terminal LINUX, pada console hitam putih command prompt. Dibanding dengan Muhammad The Second?? Pemuda yang tak pernah masbuk dalam sholatnya, yang tak pernah tertinggal tahajudnya. Dakwah?? sungguh beliau selalu pergi berjihad setiap 3 bulan sekali. Bahkan beliau meninggal ketika hendak berperang untuk menaklukkan kota kedua yang dijanjikan Rasulullah, Roma.
Bagaimana dengan saya? anda? para pejuang islam? berapa ayat yang telah kita sampaikan dalam 1 hari? sering kali kita menjadi orang yang minimalis, hingga mungkin hanya 1 ayat yang disampaikan. Berapa orang yg sudah menerima dakwah kita dalam 1 hari? hmmm.... Bahkan mungkin anda(bukan saya) masih takut untuk sekedar mengatakan demokrasi itu sistem kufur… hmmm..ingin jadi Al-Fatih??

Cukupkah dengan acara-acara besar yang kita gelar di Lembaga dakwah Kampus tanpa follow up dan pembentukan syakhsiyah islam dikatakan sebagai dakwah? Saya rasa kita semua sepakat untuk mengatakan tidak. Cukupkah dengan member materi sebatas amalan yaumiyah pada ummat dengan menyembunyikan kesempurnaan ideology islam disebut sebagai dakwah? Sy yakin kita semua sepakat lagi untuk mengatakan tidak. Lantas, bagaimana mungkin bisa menjadi sesosok Al-Fatih? Jika pemikiran kita saja masih belum bersih dari kotornya pemikiran sistem yang ada sekarang?

Muhammad II sempat akan mundur dari perang melawan pasukan Sebuah kota yang selama 800-an tahun tak bisa dikalahkan, karena ucapan salah satu petinggi saat itu. Tapi, memang kuasa ALLAH, lewat ucapan tangan kanannya Sang penakluk terus dengan pendiriannya untuk meraih gelar “panglima terbaik” yang dijanjikan Rasulullah. Bagaimana jika beliau mundur? Dan menerima sejumlah harta yang ditawarkan oleh Raja Konstantinopel saat itu? He3…

victoire

Bagaimana dengan kita? Takut menyampaikan islam sebagai sistem yang sempurna? Masih menganggap Khilafah adalah hal utopis yang amat jauh untuk dicapai? Tidak…semoga itu jawaban yang kita sepakati kali ini.

Sekali-kali bukan!! Bukan saya merasa diri lah yang sempurna. Kesepmurnaan itu hanya milik ALLAH dan RasulNya. Sombong?? Oh itu selendang ALLAH, sy sungguh tak berani menyentuhnya. Hanya saja, ketakutan, keraguan, sikap yang enggan untuk berkomitmen inilah yang menghalangi kemenangan. Lantas, apa yang harus dilakukan sekarang?

IT’S THE TIME FOR CHANGING OUR SELVES. Sekarang adalah waktunya menjemput kemenangan yang dijanjikan ALLAH SWT. There’s no second change. Cz after this, ISLAM WILL NEVER EVER BE DEFEATED. Ini waktunya kawan, menanggalkan seluruh keinginan eksistensi diri untuk selainNya. Apa yang kita takutkan jika surga ALLAH sudah tergambar jelas di console otak kita karena refleksi aqidah yang mantap? Masih kah kita ragu? Tidak,itu jawaban saya. Jawabanmu, Kawan??ok

Jumat, 03 Desember 2010

OBROLAN

Pagi ini dari mulai jam 6 sya sudah stand by di lab jaringan. Suasana yang nyaman. Masih hening. Hanya terdengar pantulan suara tuts keyboard yang saya tekan, dan nada instrumentalia blues yang dimainkan MPC. Sungguh suasana yang nikmat sekali untuk meng-coding. Tapi baru 1 jam kenikmatan itu berjalan, dan baris code baru mencapai 200 line, teman2 admin mulai berdatangan dan mereka yang memang menginap mulai mengeluarkan uap alias menguap .mrgreen
Semriwing suara mereka masuk ke telinga sy yang sy pasangi headset.
"Memang tidak akan ada habisnya."
Kata seorang kawan, yang duduk tepat di samping saya. sebut saja namanya Inem(gomen ne.)
victoire
"Yah memang begitulah."victoire
timpal lawan bicaranya, sebut saja Paijo.
Saya mulai tertarik. Apa sich memang 'yang tidak ada habisnya itu'?
diam2 sy pelankan volume.
"Memang susah kalau bicara dengan orang keras kepala."
hmmmmmmm.....sejenak aktifitas meng-coding saya hentikan.
kemudian si Inem melanjutkan....
"Tidak akan pernah ada habisnya kalau bicara tentang kebenaran."

WAKS??question

hmmmmm........ kakashi
saya masih terdiam. program yang tengah sy buat pun tertelantarkan. layar console pun sy biarkan. comment debugging tak sy hiraukan.
"Yah memang begitulah. tak ada habisnya. palagi orangnya mau benar sendiri..."
balas paijo sembari mengetik di laptopnya. Sementara si Inem terus bicara. dan sy paham apa yang mereka bicarakan.
Dan cukup. Sy menyetop diri. bahasan yang tidak ada habisnya ketika membahas orang2 seperti mereka yang tidak tahu arti kebenaran. Obrolan pagi yang membuat sy teringat tulisan Akang Ridho Al-Hamdi dalam buku mungilnya Melawan Arus. Ketika masih duduk di bangku SMA, sungguh senang rasanya memndapat hadiah buku dng judul yang cukup menawan. Tapi isinya?

happysungguh dapat melalaikan pemikiran umat. Dia bilang tak ada kebenaran tunggal, karena kaca mata yang dipakai bisa berbeda warna. apalagi kalau pakai kaca mata kuda, kang!

cool Pembahasan mengenai kebenaran pastilah berujung jika antar pihak sepakat akan parameter, definisi dan tolok ukur yang digunakan. Pendapat terkuat yang di anut nantinya. Jika memng lawan diskusi tdk sepakat, tinggalkan di tengah jalan saja.
venere mrgreen
Karena seorang penganut deisme pun pasti mengakui kebenaran. Sangat melekat di otak tulisan bang Divan yang berjudul 'Mutlaknya Relativitas'. Bagi para penganut deisme kebenaran adalah aturan yang paling memuaskan atau paling logis dan argumentative ketika di benturkan. Berarti relativitas kebenaran itu sebenarnya tidak ada. Kebenaran itu tidak relative. http://www.divansemesta.com/search/label/Mutlaknya%20Relativitas.
Jadi mana mungkin pembahasan kebenaran tidak ada habisnya? yah memang kecuali pakai kaca mata kuda.
ok
Selasa, 23 November 2010

AKU...

Aku adalah anak kecil itu. Yang duduk sila di pinggir jalan sambil menepuk genderang kecil yang terpaksa ku curi dari sebuah toko di pasar minggu.
Aku adalah anak kecil itu. Yang tiap hari kau lihat di perempatan lampu merah daerah sunter yang terpaksa mengamen demi sesuap nasi dan selembar Koran sebagai selimut.
Aku adalah anak kecil itu. Yang tiap hari melihatmu tersenyum lebar di surat kabar – surat kabar bergengsi di Ibu kota. Melihatmu tersenyum di kala bibirku bahkan bergerak pun tak sanggup. Melihatmu tersenyum di saat aku bahkan tak sanggup merintih karena lapar yang menyerang.
Aku adalah anak kecil itu. Yang diam-diam merengek kepadamu untuk kau beri sedikit nafas bahagiamu. Yang diam-diam sebenarnya menaruh harapan padamu agar suatu hari kau dapat mengangkat statusku.
Tapi, anak kecil itu sekarang sudah mulai jenuh melihat tingkahmu yang sok mewah, sok berkuasa, padahal kau ini tak lebih dari wakilku dan org2 sepertiku di sana. Tapi, kau malah berkhianat. Kau pikir kau ini siapa?


Aku lelaki yang baru saja terbaring dirumah sakit bersama istriku tercinta. Luka bakar ini membuat kami tak bisa bergerak. Padahal kami harus bekerja menafkahi ketiga buah hati kami.
Kami menerima keadaan kami, karena pasti Allah sangat sayang pada kami. Hingga Ia memberi cobaan bagi kami. Tapi kenyataan membuat kami bertanya-tanya. Kenapa masih saja orang2 berdatangan ke rumah sakit karena kasus yang sama dengan kami? Malah terkadang luka bakar mereka lebih serius, atau nyawa mereka tak terselamatkan.
Apakah ini cobaan? Atau buah dari kelalaianmu? Jika satu, dua atau tiga kasus itu normal adanya. Tapi ini? Coba kau hitung keabnormalan dari jumlah kasus yang terjadi selama satu bulan. Apakah ini sebuah konspirasi baru yang kau ciptakan? Ataukah buah dari keteledoran?


Aku baru saja berumur 5 bulan. Umur dimana seharusnya aku ditimang, disayang, dibelai oleh ibuku. Tapi apa yang ku dapat? Apa kau tahu?
Perutku buncit. Kulit ariku kusut. Mukaku lebam karena ibu memukulku. Tak tahan mendengar tangisanku, katanya. Sudah pusing dengan urusan cari makan, katanya. Akhirnya aku jadi pelampiasan.
Apa kau tahu? Aku hampir dibakar olehnya. Tak sanggup membelikan susu untukku, katanya. Jadi mending aku mati saja, pikirnya. Baru lahir tapi sudah menanggung hutang Negara, begitu teriaknya tiap hari padaku. Apa kau tahu???


Aku adalah pemuda itu. Pemuda yang melihat mobil dinasmu melintasi jalan dengan kawalan ketat. Pemuda yang muak melihat senyum palsumu yang kau beri pada rakyat.
Apakah bisa kau menjadi teladan kami? Haruskah kelak kami-generasi penerus bangsa- menjadi sepertimu? Seperti dirimu yang merangkul musuh negrimu. Sepertimu yang menangis hanya karena dugaan “ancaman” teroris yang ditujukan padamu. Sepertimu yang hanya bisa berkata manis dan membuai dengan wajah melasmu. Haruskah kami sepertimu?


Aku adalah orang tua yang sangat renta yang kau salami beberapa waktu yang lalu. Apakah kau masih mengingatku? Aku orang tua yang ada di pengungsian yang kau kunjungi saat itu. Kunjungan yang hanya menambah pertanyaan di otakku yang sudah sedikit tak berfungsi ini. Kenapa baru menjenguk rakyatmu? Kemana saja kau?
Kenapa tak kau beri kami alas tidur di barak pengungsian? Kenapa tak kau siapkan pakaian layak pakai bagi kami? Apakah kau tahu kalau aku, anak-anakku, dan cucuku kedinginan? Kenapa kau malah menjamu penjajah dengan bakso dan nasi goreng di tengah2 derita kami? Masih bisa kah kau makan dengan “yang muliamu ” itu, sementara rakyatmu hny makan dgn lauk mie yang bahkan tak baik untuk kesehatan? Masih bisakah kau tidur kelelahan setelah menjamu tamu amerikamu itu, sementara rakyatmu mengemis sebuah bantal?


Kenapa hanya tersenyum, PAK?? Begitu berarti kah pencitraanmu dibandingkan dengan nasib kami, rakyatmu?
Kenapa hanya menggelengkan kepala, PAK?? Begitu takutkah kau pada majikanmu hingga kau biarkan kami bergelimang kesengsaraan?
Kenapa hanya diam, PAK?? Tidak sanggupkah engkau menjadi pemimpin, hingga kami terbengkalai?
Kenapa PAK?? Tak punya jawaban?? Haruskah kami, rakyat yang kau anggap bodoh yang menjawab????
Jumat, 29 Oktober 2010

Hunuslah pedang Ali dan Aisyah di tempat yang pantas(Sebuah intorspeksi 16:125)

Barangkali saja namanya manusia, aktivis dakwah pun terkadang masih menyimpan sifat membuta. Ia begitu tempramental. Hingga terkadang tipis bedanya antara berargumentasi dengan mempertahankan gengsi dan emosi (al-baqa'). Padahal jika demikian, bukankah 'mundur untuk menang' adalah pilihan yang harus dilakukan? Bukan ia kalah, tetapi menghindari 'unsur setan' mestinya sebuah kemestian.

Mungkin ada hal yang terlupakan ketika kita mengedepankan otot-otot perdebatan -jika tidak dikatakan pertikaian-. Boleh jadi benar kita mempertahankan kebenaran, tetapi jika terselip kepentingan ’keperkasaan intelektual’, hingga kemudian mengakibatkan putus tali persaudaraan, bukankah dengan itu kita justru melakukan hal yang diharamkan? Ironisnya, jika keharaman itu hanya diakibatkan oleh perkara-perkara cabang, atau berupa kesalah-fahaman definisi yang masih mereka pegang. Dan na’udzubillah, jika kekisruhan itu dimunculkan atas nama ta’ashub pergerakan. Maka dimana letak tolok ukur amal (miqyasul ’amal) yang kita punya? Maka dimana kita menyembunyikan kaidah yang mengatakan bahwa menghindari kerusakan itu lebih utama dari pada mengambil kemaslahatan?

Pada saatnya kita memang perlu untuk meninggikan suara, tetapi, tetap pada saatnya. Sulit rasanya jika sejak awal kita berangkat dari kebencian. Bukan lah kita akan mendapat kebenaran, tetapi selalu saja pembenaran. Saya sendiri pernah berkata dalam hati: Lebih baik saya tak hafal dalil! Jika dengannya hanya sebagai bekal untuk menyakiti. Bukankah dakwah ini karena kita cinta, hingga menyampaikannya pun harus dengan cinta. ”Katakanlah kebenaran walau pahit!”, tetapi apa harus dengan meninggalkan luka?

Agama ini bukan untuk gagah-gagahan, Kawan. Maka seberapa toleran kita pada yang lemah? Seberapa sabarkah kita memposisikan diri sebagai ’pencerah’? Tancapkanlah dalam hati, bahwa semua aktivitas membentak, mengumpat atas nama dakwah, pada hakekatnya hanya menunjukkan bahwa diri kita lebih menguasai. Bahkan di saat yang sama, ia menunjukkan terbatasnya asa, sikap yang tergesa-gesa, atau rapuhnya jiwa kita, bahkan ia pun menunjukkan seberapa kemampuan kita.

Tegaslah jika memang harus tegas, keraslah kalau memang harus keras, tetapi semua itu harus dilandaskan atas argumentasi, bukan sekedar emosi sampai-sampai mengumbar aib tiap-tiap pribadi. Atau sesumbar dengan kebaikan-kebaikan diri. Atau pembantaian mental berupa cibiran dan hinaan yang ditujukan kepada saudara Muslim sendiri.

Dan ingatlah, Kawan, ingat! Siapa yang bergembira di balik sana di saat pedang Ali dan Aisyah -radhiyallahu ’anhum- berkelebat satu sama lain? Ah, tak perlulah aku jawab pertanyaan itu di sini. Kitapun sama-sama tahu siapa musuh sesungguhnya saat ini.

Terakhir, sengaja kubuat tulisan ini sebagai instrospeksi diri pribadi, namun barangkali akan terpakai pula oleh kawan sesama peniti jalan ini. Karena lagi-lagi, khawatirnya, kita yang mengerti konsep Gharizah Al-Baqa’ malah justru terjebak dengan Baqa’ sendiri. Khawatirnya, ilmu yang kita miliki belum cukup didukung dengan keikhlasan hati. Khawatirnya, ’kaburo maqtan ’indaLlahi..’. Khawatirnya, wal-’Iyadzubillah..

Maka sekiranya ada yang ’tersamar’, akhiri perkataan dengan istighfar. Dan jika hal itu pernah menimpamu dariku, maka tak segan-segan kukatakan padamu: Terimalah maafku, Kawan.

copied from:
http://ahsanhakim.blogspot.com/
nice writing, bro...
Minggu, 18 Juli 2010

di persimpangan pertigaan kah?

Tiba – tiba saja ingin mengabadikannya dalam sebuah goresan pena. Mungkin saja di antara kawan-kawan sudah pernah ada yang mengalaminya. Bahkan lebih mendalam, lebih jauh, dan lebih lebih lah pokoknya. Tapi, entah kenapa tangan ini gatal rasanya. Mungkin karena menurutku ini pengalaman berharga dari sebuah perjalanan menuju puncak keimanan.

Kejadian ini sudah lama, tapi ya nggak lama-lama amat. Tepatnya awal-awal semester dua kuliah. Masih canggung bagiku untuk bergaul, meski sudah sekitar 6 bulanan berada di tempat baru ini. Maklum, agak “Aku agak pendiam orangnya. Kalem. Tidak banyak bicara. Santun, ramah, baik hati, gemar menolong, tidak sombong, dan suka nodong”. Tapi apa daya, kewajiban dakwah membuatku harus memutar otak untuk menyebarkan ideology ini.

Siang itu, aku mengelilingi kampus hampir ada 7 kali. Suer, bro. Ya maksudnya bukan mengelilingi seperti ritual mengelilingi rumah sebanyak 40 kali agar kau bisa melihat wujud asli jin(kata seorang teman dari Joga), tapi bolak – balik lantai 1 kemudian lantai dua lalu lantai 3 untuk sekedar mencari “mangsa”. Akhirnya setelah hampir 2 jam, aku menemukan segerombolan orang. Untunglah kawan seangkatan. Jadilah mereka mangsaku. Tapi, entah aku harus mengatakan sayang atau bagaimanakah seharusnya yang kutemui adalah noni. Jadilah bulletin islam yang kubawa tak jadi kusebar pula. Tapi, jelas taka pa bagiku. Dakwah itu ditujukan pada semuanya. Meski musyrifah pernah berkata bahwa sekarang concern dakwah kita bukan pada mereka yang noni(dimana sampai sekarang aku masih tidak setuju dengan beliau tentang hal ini), aku tetap mencoba untuk membuka pintu hati mereka. Berharap bahwasanya ALLAH SWT mau berbaik hati kepadaku dengan menjadikanku sebagai perantara datangnya hidayah buat mereka.

Mungkin pengalaman ini masih kalah jauh dgn pengalaman bang Divan dkk, yang ku rasa sudah sampe mual2 memakan asin-asemnya suatu perdebatan teologis. Tapi yah, bagiku, kuanggap ini sebagai pengukuh keimananku. Setidaknya selain tulisan bang divan yang berjudul “atheisme”, aku punya pengalaman itu.
Kebetulan kawan pertamaku adalah seorang hindhu. Mulanya aku awali dengan bertanya;

“Sebenarnya kau ini beragama hindhu atau Budha?”

Sedikit mendramatisir keadaan, dy menghela nafasnya. Panjang sekali menurutku.

“Insyaallah Hindhu”, jawabnya.

Insyaallah?? Jika Allah menghendaki??? Aneh pula kawanku ini. Harusny kutanyakan pula apakah dy seorng muslim. Pakah dy berada dipersimpangan tiga agama. Hingga ia memasang dua dewa dari dua agama berbeda, dan mengucapkan sebuah kata khas muslim? Namun belum sempat aku mengolah kata, dy brtanya;

“Ada apakah gerangan dikau bertanya?”
“hmm… hanya heran dengan stiker yang ada di laptopmu. Dua dewa dari dua agama yang berbeda.”

Dy tertawa. Tak lucu bagiku. Yah kalian tahu, itu adalah hal yang sakral.
“Apa kau tidak bingung menyembah dewa-dewa yang tugasnya satu sama lain bertentangan?”
Maklum pertanyaan polos.
“Sebenarnya kami sama dengan kalian. Kami menyembah Tuhan.”

Aku berontak. Jelaslah, tak mau aku disamakan dgn penyembah berhala. Penyembah patung2 tak jelas bertangan lebih dari dua.
“Bagaimana bisa?”, tanyaku sambil sedikit melotot.
“Dewa-dewa ini bagi kami seperti halnya Nabi atau Rasul dalam agama kalian.”

Semakin berontak. Nabi-nabiku tak ada yang menjadi perusak seperti salah satu dewa mereka.
“Hmm…. Bagaimana bisa sama? Nabiku tidak pernah menyuruh kami untuk menyembah mereka.”
“Dewa-dewa ini hanya sebagai perantara antara kami dgn Tuhan.”
“Berarti kita berbeda. Tuhanku tak pernah menyuruh utusanNya untuk menjadikan mereka sebagai perantara. Berarti Tuhan kita berbeda. ”
“Yah memang itulah kepercayaan kami, yang kami yakini kebenarannya, Y.”
“Bagaimana mungkin kalian bisa meyakini sebuah ajaran yang dibawa dewa-dewa yang bahkan tiap kisah dari dewa itu kalian katakan sebagai dongeng para rahib kalian?”

Aku tak tahu apa yang saat itu dy pikirkan. Yang jelas, aku yakin sudah mengguncangkan keimanannya. Keimanan pada legenda Dewa-dewa yang mereka sebut sebagai dongeng dari rahib mereka. Tapi, mungkin hidayah itu tidak turun sekarang atau melaluiku. Hingga ujung-ujungnya dia berkata;
“Sudahlah, Perbedaan itu anugrah. Tuhan lah yang menghendaki perbedaan itu. Kita harus menghargainya. Tanyalah pada petinggi agamaku di pura yang biasa aku kunjungi disini.”


Dan kemudian ia berlalu tanpa pamit sembari mengambil bulletin Islam yang dari tadi sengaja kuletakkan di atas meja. Alhamdulillah, batinku.
Tp, sebenrnya ingin sekali kutanyakan padanya. Perbedaan seperti apakah yang ia maksud? Jika perbedaan dalam ranah teologi, dari mana ia tahu bahwa itu kehendak Tuhan, jika dapat kita buktikan dengan gampang bahwasanya kami amat berbeda dari segi teologi itu sendiri? Ah, bagaimana aku bs percaya pada kata2 seseorang korban doktrin rahibnya?
Wallahua’lam.
Kamis, 03 Juni 2010

GAZA TIDAK BUTUH KAU


Gaza tak butuh kau...Gaza tak butuh aku.. Yang Gaza butuhkan adalah Allah SWT. karena Gaza itu milikNya...
Kitalah yang butuh Gaza.. Kitalah yang butuh Gaza... Kitalah yang butuh Gaza...
Kita yang butuh Gaza, agar tercatat nama kita di sisiNya sebagai hamba yang bergerak untuk menolong agamaNya..


http://burjo.wordpress.com/2010/06/03/gaza-tidak-membutuhkanmu/
Selasa, 01 Juni 2010

HIDUP

Hari ini, ditengah2 perkuliahan berlangsung, hp sy bergetar. Sy pikir ini dari paman yang mengabarkan uang kiriman bs diambil hr ni jg. Tpi trnyata itu sms dr seorg sahabat. Kecewa kah sy? Hmmmm….sedikit + sedikit * sedikit – lumayan sedikit + 2*sedikit. :d(Note: just kidding).
Singkatnya sms itu berisi sbuah pertanyaan, yng menurutnya filosofis (jujur, sbnrnya sy kurang begitu paham makna kata filosofis :d). Pertanyaan itu mengingatkan sy pada keponakan tercinta. Yah, kebetulan sy sedang rindu berat pada nya. Surabaya-jogja tidaklah dekat, jd frekuensi bertemu jd sgt jarang.
Suatu hari,pernah sy mengajak keponakan perdana untuk jalan2(really walk by foot). Saat itu kira2 usianya belum ada satu setengah tahun..ya mislkan umurnya saya misalkan x, maka codomain nya adalah 1<1,5.>banyak,amat) lemas….:D Yah, kami bersendau gurau dengan ayam,kucing, bahkan syauki hampir mewarisi kebiasaan Susana, yakni makan bunga melati. Untunglah dengan sigap sy mencegahnya.  horeee….. Yah untunglah syauki tdk punya kebiasaan melempar batu seperti keponkan seorg kawan, ketika di ajak berkeliling kampung. Haha….

Ditulisan ini, sy tak hendak bercerita tentang keponakan perdana sy. Sy tak hendak cerita bagaimana lebih girangnya syauki bermain dengan kambing dari pada dengan saya. Atau saya tak hendak membuat cerpen tentang apa saja yang dia lakukan ketika mandi, yang menghabiskan waktu lebih lama dari saya.

Ya kembali ke pertanyaan kawan saya, yg membuat sy menulis artikel ini, setelah sebelumnya sy sedikit(baca: rada banyak) bercuap-cuap tentang keponakan saya. Kawan saya bertanya ttg apa arti hidup ini menurut sy. Hmmmm…. Jujur saja, sy bukan tipe orang yang memikirkan hal seperti itu. Sedikit tergelitik, atau lebih tepatnya muncul pula keinginan untuk mencari-cari. Dan akhirnya yang ada sy setuju dengan pendapat org kebanyakan tentang definisi hidup.
Ada yang mengatakan hidup itu pilihan. Sy setuju. Hidup adalah sebuah perjalanan. Hidup itu perjuangan. Hidup itu untuk berbagi dengan sesama. Segudang definisi hidup yang sy dapatkan ketika sy mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang kawan sy lontarkan tersebut. Nothing wrong, menurut sy. Hanya saja sy lebih melihat “Hidup” dari sudut pandang yang hidup. Bahwa hidup bukanlah mati. Bahwa hidup itu hidup. Ada kehidupan. Ah susahnya didefinisikan. :d

Bagi sy, apapun makanannya yang penting minumnya teh botol sosro. :d Maksudnya, apapun definisi hidup, bagi sy yg terpenting adalah tujuannya. Ketika sy memutuskan untuk memandang “Hidup” dari sudut pandang yang hidup, maka sy pahami bahwa dalam hidup ini tidaklah boleh ada suatu kediaman, harus ada pergerakan. Pergerakan yang didasarkan pada tujuan hidup. Tujuan hidup yang di dapat dari si Empunya hidup. Begitulah. Ketika yang sy pahami adalah demikian, maka sy pun tak boleh diam. Mau tak mau harus bergerak. Harus berbuat. Harus beraktifitas.

Nah inilah yang menurut sy menjadi kasusnya- Aktifitas saat hidup- yg seperti sy jelaskan di atas, harus punya tujuan. Maka, tujuan itu tak sy cari kemana-mana, seperti halnya beberapa kawan2 mahasiswa sy yg bermacam2 tujuannya sampai ada yg bingung ketika ditanya apa tujuan hidupnya saat di forum pengkaderan(baca: OSPEK). Saat itu ada yang menjawab, ingin membahagiakan keluarga dan orang tua, jadi orang sukses, dsb. Sangat prestige mungkin bagi mereka. Lantas sy bertanya (meski dalam hati), klo abis orang tua dan keluarga nya bahagia, dy mau apa? Setelah jadi org sukses(yang mungkin definisinya banyak) trus mau apa lagi?hmmmm…..

Maka dari itu, sy tak mau susah2 mncari tujuan hidup sy, sampai harus menyelam samudera pasifik. Allah sudah memberitahukan tujuan hidup ini pada kita, yakni beribadah kepadaNya. So based on this, pikiran sy hanya simple saja. Otomatis pergerakan(baca: aktifitas) sy harus berdasarkan apa yang diperintahkanNYA. Simple kan? Itulah tujuan hidup sy. Sy sama sekali tak punya tujuan untuk menjadikan keluarga sy kelak seperti keluarga sukses dengan parameter keluarga Bernaulli, yg dari buyut sampe cicit adalah ahli matematika. Mulai dari Jacob I, Johan I, Nicoulas, Daniel, Jacob II dst. Atau sy tak bertujuan menjadi seorang yang kaya raya seperti Bill Gates, atau penguasa IT lainnya. Tujuan sy hanya satu. ‘ibadallah untuk menggapai ridhoNya.

So, simple nya semua aktifitas yg sy lakukan semata-mata mendukung tujuan hidup sy. Sy memang berkeinginan menjadi perancang dan ahli network security yang handal dikemudian hari, tapi hal itu tak lepas dari tujuan hidup sy. Kalau sy ceritakan apa planning sy terkait hal ini, jadi panjang nantinya. :d

Ya intinya sekali lagi, bg sy tak penting apa arti/ definisi hidup. Wew, anda boleh kok tak setuju dengan perkataan sy. Anda punya hak. Toh tidak ada keharaman hukumnya ketika anda tidak setuju dengan pendapat sy. Bagi sy, pergerakan yg terjadi saat hidup, itulah masalahnya. :d

NB:
Smg bs menjawab….

Selasa, 20 April 2010

BERLARI DENGAN ASAN




Kini
Surya tengah melebarkan telinganya
Mendengar suara genta sekolah pagi buta
Mendengar jejak kaki pengejar asan di setiap buldan
Mendengar derap para pelari menuju pondok winaya
Mendengar petuah para guru yang terpajan di muka para pencari pemuas pemikiran

Surya kini merentangkan tangan panjang cahayanya
Membumbungkan asan para penjual lampin
Tuk jadi majikan tinta dan membeli sebuah pena dengan sebatang aurum
Meraba harapan budak-budak tuk mengukir cita di dada

Kini, surya sedang membuka mata
Melihat manusia mengejar kejayaan di belantara kehidupan
Melihat para bocah yang mengejar azam
Melihat bisu tumbuhnya asa dalam dada tiap insan

Sang surya pun menjadi saksi
Bagi para pencari dan budak, bagi para penjual lampin
Bagi para papa dan gahara
Bagi perjuangan tanpa limit menuju kemahsyuran wiyana nusantara
Bagi generasi penerus Muhammad bin Salamah
Tuk merebahkan peribahasa tua “Indah kabar dari rupa”
Kemudian berlari dengan asan penuh di dada
Tuk membelalakkan dunia(yrz)
Kamis, 28 Januari 2010

TANPA JUDUL

Jalan ini, memang dipenuhi darah dan airmata,,
Namun,
darah yang memberi warna keberanian sebuah revolusi akbar...
Air mata yang membasahi kerongkongan perjuangan, hingga hilang dahaganya

Jalan ini, terlampau banyak duri yang musti dihilangkan,
Namun,
Duri ini tlah meneguhkan kakiku tuk tetap membuatnya terpaksa tumpul dan tunduk dibawah kaki

Jalan ini,
jalan ini,
jalan ini,

Jalan ini,
penuh mutiara yang tersembunyi dan disembunyikan
maka, lewat revolusi akbar khan ku raih mutiara yang terbuang yang kini ada di tepi jurang yang para manusia takut tuk mengambilnya

Tak kan pernah berhenti,,
sebuah revolusi sampai akhir hidup ini
hingga yang Agung berada ditempatnya kembali

SALAM REVOLUSI
Rabu, 27 Januari 2010

ENTAH SAMPAI KAPAN

Entah sampai kapan
mereka akan tersadar bahwa negri ini
bukanlah panggung wayang golek yang butuh dalang org2 tak berguna

Entah sampai kapan
Manusia-manusia bodoh itu menejlma menjadi menteri berdasi
yang hanya bisa mengangguk pada pemilik kertas bernominal

Entah sampai kapan
boneka2 ini
menjadi pemeran utama di singgasana penentu
nasib jutaan manusia

Entah sampai kapan..............

"Apatah sampai generasi baru setelah kita yang nantinya berhasil menumbangkan peradaban busuk ini??"

atau

"Apatah cukup sampai disini saja peradaban ini berlenggak-lenggok,
dan generasi kita lah yang berhasil menumbangkannya??"