Pages

Minggu, 18 Juli 2010

di persimpangan pertigaan kah?

Tiba – tiba saja ingin mengabadikannya dalam sebuah goresan pena. Mungkin saja di antara kawan-kawan sudah pernah ada yang mengalaminya. Bahkan lebih mendalam, lebih jauh, dan lebih lebih lah pokoknya. Tapi, entah kenapa tangan ini gatal rasanya. Mungkin karena menurutku ini pengalaman berharga dari sebuah perjalanan menuju puncak keimanan.

Kejadian ini sudah lama, tapi ya nggak lama-lama amat. Tepatnya awal-awal semester dua kuliah. Masih canggung bagiku untuk bergaul, meski sudah sekitar 6 bulanan berada di tempat baru ini. Maklum, agak “Aku agak pendiam orangnya. Kalem. Tidak banyak bicara. Santun, ramah, baik hati, gemar menolong, tidak sombong, dan suka nodong”. Tapi apa daya, kewajiban dakwah membuatku harus memutar otak untuk menyebarkan ideology ini.

Siang itu, aku mengelilingi kampus hampir ada 7 kali. Suer, bro. Ya maksudnya bukan mengelilingi seperti ritual mengelilingi rumah sebanyak 40 kali agar kau bisa melihat wujud asli jin(kata seorang teman dari Joga), tapi bolak – balik lantai 1 kemudian lantai dua lalu lantai 3 untuk sekedar mencari “mangsa”. Akhirnya setelah hampir 2 jam, aku menemukan segerombolan orang. Untunglah kawan seangkatan. Jadilah mereka mangsaku. Tapi, entah aku harus mengatakan sayang atau bagaimanakah seharusnya yang kutemui adalah noni. Jadilah bulletin islam yang kubawa tak jadi kusebar pula. Tapi, jelas taka pa bagiku. Dakwah itu ditujukan pada semuanya. Meski musyrifah pernah berkata bahwa sekarang concern dakwah kita bukan pada mereka yang noni(dimana sampai sekarang aku masih tidak setuju dengan beliau tentang hal ini), aku tetap mencoba untuk membuka pintu hati mereka. Berharap bahwasanya ALLAH SWT mau berbaik hati kepadaku dengan menjadikanku sebagai perantara datangnya hidayah buat mereka.

Mungkin pengalaman ini masih kalah jauh dgn pengalaman bang Divan dkk, yang ku rasa sudah sampe mual2 memakan asin-asemnya suatu perdebatan teologis. Tapi yah, bagiku, kuanggap ini sebagai pengukuh keimananku. Setidaknya selain tulisan bang divan yang berjudul “atheisme”, aku punya pengalaman itu.
Kebetulan kawan pertamaku adalah seorang hindhu. Mulanya aku awali dengan bertanya;

“Sebenarnya kau ini beragama hindhu atau Budha?”

Sedikit mendramatisir keadaan, dy menghela nafasnya. Panjang sekali menurutku.

“Insyaallah Hindhu”, jawabnya.

Insyaallah?? Jika Allah menghendaki??? Aneh pula kawanku ini. Harusny kutanyakan pula apakah dy seorng muslim. Pakah dy berada dipersimpangan tiga agama. Hingga ia memasang dua dewa dari dua agama berbeda, dan mengucapkan sebuah kata khas muslim? Namun belum sempat aku mengolah kata, dy brtanya;

“Ada apakah gerangan dikau bertanya?”
“hmm… hanya heran dengan stiker yang ada di laptopmu. Dua dewa dari dua agama yang berbeda.”

Dy tertawa. Tak lucu bagiku. Yah kalian tahu, itu adalah hal yang sakral.
“Apa kau tidak bingung menyembah dewa-dewa yang tugasnya satu sama lain bertentangan?”
Maklum pertanyaan polos.
“Sebenarnya kami sama dengan kalian. Kami menyembah Tuhan.”

Aku berontak. Jelaslah, tak mau aku disamakan dgn penyembah berhala. Penyembah patung2 tak jelas bertangan lebih dari dua.
“Bagaimana bisa?”, tanyaku sambil sedikit melotot.
“Dewa-dewa ini bagi kami seperti halnya Nabi atau Rasul dalam agama kalian.”

Semakin berontak. Nabi-nabiku tak ada yang menjadi perusak seperti salah satu dewa mereka.
“Hmm…. Bagaimana bisa sama? Nabiku tidak pernah menyuruh kami untuk menyembah mereka.”
“Dewa-dewa ini hanya sebagai perantara antara kami dgn Tuhan.”
“Berarti kita berbeda. Tuhanku tak pernah menyuruh utusanNya untuk menjadikan mereka sebagai perantara. Berarti Tuhan kita berbeda. ”
“Yah memang itulah kepercayaan kami, yang kami yakini kebenarannya, Y.”
“Bagaimana mungkin kalian bisa meyakini sebuah ajaran yang dibawa dewa-dewa yang bahkan tiap kisah dari dewa itu kalian katakan sebagai dongeng para rahib kalian?”

Aku tak tahu apa yang saat itu dy pikirkan. Yang jelas, aku yakin sudah mengguncangkan keimanannya. Keimanan pada legenda Dewa-dewa yang mereka sebut sebagai dongeng dari rahib mereka. Tapi, mungkin hidayah itu tidak turun sekarang atau melaluiku. Hingga ujung-ujungnya dia berkata;
“Sudahlah, Perbedaan itu anugrah. Tuhan lah yang menghendaki perbedaan itu. Kita harus menghargainya. Tanyalah pada petinggi agamaku di pura yang biasa aku kunjungi disini.”


Dan kemudian ia berlalu tanpa pamit sembari mengambil bulletin Islam yang dari tadi sengaja kuletakkan di atas meja. Alhamdulillah, batinku.
Tp, sebenrnya ingin sekali kutanyakan padanya. Perbedaan seperti apakah yang ia maksud? Jika perbedaan dalam ranah teologi, dari mana ia tahu bahwa itu kehendak Tuhan, jika dapat kita buktikan dengan gampang bahwasanya kami amat berbeda dari segi teologi itu sendiri? Ah, bagaimana aku bs percaya pada kata2 seseorang korban doktrin rahibnya?
Wallahua’lam.