Pages

Kamis, 26 Maret 2009

LELAH!!


Seperti siang2 sebelumnya, wanita tua itu telah berada di sebuah halte bus kota. Menenteng tas bawaannya yang berisi sayur mayur pasar yang tak laku dijualnya tadi pagi. Sesekali karena angin yang kencang, kerudungnya terkuak. Sesekali pun ia benahi.

Keringatnya pelan2 menetes. Menambah basah bajunya yang dari tadi di guyur keringat pasar.
Matahari tak begitu terik. remang2 siang. Peluhnya kinipun bertambah banyak karena ia terpaksa berdiri demi memberi tempat untuk seorang ibu dgn dua anaknya.
Bus terasa amat lama sekali ditunggu. hingga keringatnya dari deras semakin deras. Lelah ia berdiri. Namun, 3 detik kemudian semangat seperti biasanya tiba2 muncul.

Ibarat sebuah baterai yang baru dicharge, ia semangat menatap ke depan. Memang mungkin takdir Tuhan, bus yang ditunggu yang tak kunjung datang seperti memberi kesempatan pada matanya untuk berkeliaran. Tertangkap bayangan berjejer2 baliho berbagai ukuran,,2x3, 4x6, bahkan 6x7. Terpampang wajah2 calon wakil rakyat dari berbagai kalangan seperti sedang tersenyum ke arahnya. Wanita itu membalas senyum mereka setulus hati. namun, ia merasa tak enak pada mereka yang tak kunjung berhenti tersenyum padanya.

Ah dia hanyalah salah satu dari jutaan orang miskin di negrinya yang masih berharap akan perubahan yang dijanjikan calon wakil rakyat itu. Dengan lugu, ia pun berharap senyum bahagia para calon wakil rakyat itu suatu saat nanti akan tertular padanya ketika mereka menjabat nanti.
Tapi tiba2 senyumnya terhenti. Tak terlupakan olehnya, bagaimana perilaku orang2 yang menjabat sekarang. Yang membuat hidup di negri sendiri bagai bunuh diri. Mereka hanya beralih menjadi pembantu tingkat tinggi. Sama saja dgn PRT, hanya saja rumah tangganya rumah tangga negara, bermajikan si bangsat negara kapitalis. Mereka tak lebih tinggi statusnya dari pelayan restoran yang membawakan pesanan bagi para pembelinya. Mereka budak kapitalis berkedok agamis.
"Ah, berbaju koko berpeci, sama saja bejatnya" pikirnya dgn setengah hati.
Tiba2 geramnya mereda. Ia mencoba berpositive thinking.
"Yang menjabat sekarang ya sekarang. Yang masih calon, mgkin saja org baik."
Ia sadar fakta sekarang tak bisa menggeneralisasi.

Ia masih merasa optimis,karena melihat slogan2 yang terpampang di baliho2 itu.
" Berbuat setulus hati" ; "Jujur dan Amanah" ; "Meningkatkan ekonomi kerakyatan" ; "Calon wakil rakyat yang merakyat" ; "Bersih, peduli, dan profesional" ; "Siap mengabdi dan mengemban amanah demi kesejahteraan" ; "Bersama berjuang untuk rakyat" ; "Bekerja untuk keunggulan bangsa"
Namun, ia merasa sudah cukup tua untuk mengenali situasi sama yang terjadi menjelang pesta akbar demokrasi.
"Bukankah Pemilu yang lalu pun begitu? Bukankah senyum para calon wakil rakyat itu bersemi saat kampanye saja? Bukankah slogan2 itu juga palsu yang dikeluarkan sebagai janji palsu sbg formalitas di Pemilu palsu yang melahirkan org2 baik yang palsu yang terus mengisi pemerintahan palsu demi sebuah kedaulatan palsu? ah,,benar2 kemerdekaan bangsa ini pun juga palsu."

Ia lihat lagi berjajar baliho di depannya yang memenuhi tepi jalan raya yang dilewati ribuan kendaraan jurusan Yogya-Surabaya itu.
"Mereka akan membuat negri ini lebih baik." Move forward, mgkn begitulah istilahnya. dalam benaknya para caleg yang relatif muda itu, sekali lagi, pasti akan membawa perubahan. ...Perubahan....Perubahan......
"Perubahan" ia berteriak dalam hatinya. Ia bangga pada mereka yang begitu getol membuat masyarakat tertarik memilih mereka...demi terwujudnya tujuan mulia mereka saat mereka terpilih. Baliho2 ini salah satu buktinya. Iklan2 di TV itu pendukungnya. Mereka rela mengeluarkan uang banyak hanya agar mereka terpilih mendai org yang mewakili aspirasi rakyat. betapa semangatnya mereka, hingga promosi diri sgt mereka gencarkan. Di tempat ia tinggal, calon wakil rakyat itu tiba2 saja rela menceburkan diri ke sungai kotor untuk bersama2 warga membersihkan sampah2 yang hanyut. Ada lagi yang tiba2 rela jadi pengamen di beberapa bus yang ia tumpangi, agar mudah dikenal rakyat.
"Hebat!" pikirnya lagi. Tapi,lagi2 ia terdiam. Sisi pemikirannya yang lain ikut ambil bicara.
"Benarkah mereka ingin memperbaiki keadaan rakyat? atau mereka terkena power syndrome saja? Jika memang mereka berjuang demi rakyat setulus hati, mengapa mereka hanya melolong seperti anjing jika akan ada pesta demokrasi saja? Dimana mereka saat rakyat tercekik karena BBM dinaikkan? mengapa mereka tak mendukung aksi para mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut BBM diturunkan? Jika begitu bukankah para mahasiswa itu yang lebih pantas menduduki posisi yang mereka perebutkan? lalu dimana mereka saat org2 di DPR sana membuat UU SDA, Air, dan listrik yang memihak pada kaum kapitalis?Lalu sekarang, mereka menjual diri lewat promosi besar2an demi menarik simpati rakyat yang tengah kelaparan. dan membuat barang2 tak berguna seperti baliho yang sama sekali tidak bisa dimakan oleh orang kelaparan sepertiku. Apakah ini yg disebut semangat perubahan? Ah picik. Ini tak ubahnya seperti eufori anak2 yang baru bisa naik sepeda."

lelah, setidaknya ia masih bersyukur karena masih bisa merasa lelah. ya lelahnya kaum pemikir......



NB:
Bukan suatu sikap pesimistis, hanya bersikap obektif terhadap fakta