Pages

Sabtu, 19 Desember 2009

ESCAPIST

“Arggggggggggggggggggghhhhhhhhh………………………………”

“Nyebut tole….nyebut….”

“huh…………..huh………………….”

Ku rasakan tak karuan. Kacau. Rasa marah menyambut setiap pertanyaan yang kuajukan pada diriku sendiri.

“Sabar le,,,,sabar….”

Aku..aku bisa merasakan tangan emak yang membelai rambut dan mengusap dadaku. Tapi, aku…aku tak bisa mengendalikan kaki dan tanganku. Mereka seperti bagian lain dari tubuhku.

“Argghh……Arggh…..Argh……..”

Mulutkupun tak mau kalah liar.
“Huh,,huh”
Nafasku tersengal .Aku tak berdaya mengendalikan tubuhku sendiri. Aku lelah. AKU LELAH.
Mataku!!! Mataku!!! Aku tahu sorot matakupun ikut berlomba menjadi liar. Bengis, tajam, pancaran amarah. Aku..aku tak sangup melembutkan sorot mataku pada emak.
Aku lelah….aku lelah…..

“Argh…..Argh…..”
Teriakanku bertambah kencang setiap kali kurasakan tangan Abah yang renta menghalau gerak liar tubuhku.

“BRUK”

Suara itu sangat jelas. Dan bertambah nyata saat mataku dengan sorotnya yang tak berubah melihat abah yang tersungkur tak berdaya di lantai karena tendangan maut kakiku. Kemudian aku…..aku…….aku…..tak sadarkan diri.

---------------||----------------


“Piye le, rasane awakmu?”

Lega. Kini kubisa merasakan bahwa aku punya tangan dan kaki. Damai. Karna sorot mataku tak lagi penuh dengan amarah.

“Emak...Abah.....”
Senang. Mulutku menjinak. Aku kembali. Ha ha ha ha.........
“Apa kau haus? Emak ambilkan minum ya?”
Aku menggeleng. Kupegang tangan emak. Mengiba dengan tatapan mataku. Mencoba memohon padanya untuk tetap tinggal disamping ku.
”Apa yang kau pikirkan dan rasakan sekarang?”

Pertanyaan abah membuatku bisu daalm sekejap. Rasanya pun ingin bisu selamanya. Perlahan air mataku menetes. Namun hanya air mata hati. Aku....diantara tahu dan tidak tahu. Ah entahlah aku bingung. Aku tahu kenapa aku begini, tapi aku takut mengakui, bahkan mengakui pada diriku sendiri.


---------------||----------------

”Budi..... Budi......”

Sangat jelas. Ada yang memanggilku. Tapi aku tak peduli. Aku tak pedulikan mereka jika mereka memanggilku dengan nama Budi. Apakah ini berarti aku benci namaku? Sebegitu rumitkah aku?
Aku hanya tidak terima saja, ketika guru sekolah dasarku selalu mengeja kalimat ”Ini Ibu Budi ” atau ”Ini ayah Budi”. Andai aku punya ibu dan ayah, aku tak akan tersinggung. Aku hanyalah bayi tengil yang dipungut emak dan abah dari tumpukan sampah. Bahkan hidungku, kata emak, saat itu tertutup oleh pembalut wanita. Aku hanya benci. Hanya benci.

”Budi!! Aku memanggilmu dari tadi. Apa kau tak mendengarnya? Ehmmm..... Ini catatan Aljabar linear dan Pemrograman Terstruktur mu, kemarin ketinggalan di kampus.”

Kampus?? Heh... Halim mengingatkanku kalau aku mahasiswa. Aku ingin mengubur ingatan itu. Dan hampir berhasil, setidaknya sampai detik dimana ia menyebut kata kampus. Kata yang begitu aku benci, karena telah mengubah duniaku 180 derajat. Kata yang bisa membuat kepalaku penuh beban. Kampus..... tempat dimana aku hanya dididik untuk menjadi kapital hedonis dengan orientasi kebahagiaan materi. Tempat dimana aku, memulai debutku sebagai.......

”Oya, jangan lupa 2 hari lagi demo Final Project. Jadi rangkaian subtractor, divider dan modulo nya aku serahkan padamu.Oya Ujian akhir semester dimulai .....................”

Kepalaku.............mataku remang.......

”Budi..... Budi.....”

---------------||----------------

”Rangkaian mu sempurna. Hampir tak ada cacatnya. Bagaimana kau membuatnya?”

Asprak ini membuatku illfeel. Tapi sedikit menyenangkan ketika rangkaianku ia nilai perfect. Tapi sungguh, pembuatan rangkaian ini sangat mudah.

”Ini hanya rangkaian subtractor biasa. Rangkaian divider pun, dasarnya subtractor pula, sedangkan hasil modulo, diambil dari hasil subtractor akhir rangkaian divider.”

Apa penjelasanku cukup gmablang bagi mereka? Ah, apa pentingnya. Mereka lah yang bodoh jika tak mengerti ucapanku. Lagi pula nilai A sudah ada didepan mata karena ucapan “sempurna” nya. Ha ha ha……..

“Harus menggunakan rangkaian komparator pada rangkaian divider nya”
”Lalu, bagaimana bisa kau jadikan modulo sebagai outputnya, Budi?”

Dua kali sudah, manusia berjabatan asprak ini membuat ku kesal. Tapi nilai A nya, cukup meredamku.

”Counter up. Dengan rangkaian counter up”
“Aku tak melihatnya. Mana rangkaian counter up yang kau maksud itu?”

Ingin sekali rasanya aku lemparkan pena yang dari tadi kugenggam ke wajahnya. Tapi biarlah. Ku masih menganggapnya asprak bodoh yang saat semester satu selalu revisi praktikum.

“Dalam sub circuit. Saya buat IC sendiri.”

Kepalaku…..kenapa? kumohon jangan di saat2 seperti ini......

---------------||----------------

”Maaf nak Halim, apa Bapak boleh tahu kenapa anak Bapak, Budi, mendapat nilai E? Bahkan harus melakukan revisi minimal tiga kali?”
”Sebelumnya saya minta maaf, Pak. Tapi Budi tidak mengerjakan tugas Praktikum nya. Uji rangkaian, ia hanya menyodorkan worksheet kosong, kemudian ia duduk, lalu diam dan tak menjawab sepatah katapun ketika penguji mengajukan pertanyaan padanya.”

Aku melihat kepala abah mengangguk-angguk, kala si Halim kudil itu berucap. Meski aku tak bisa mendengar apa yang mereka sedang perbincangkan, aku bisa menarik kesimpulan kalau abah sedang diguna-guna oleh halim, sampai abah tak berhenti menganggukkan kepala rentanya.


---------------||----------------

”BANGUN!! SADARLAH KAWAN!! KAU INI MASIH HIDUP!! KAU MASIH BERNYAWA…… JANGAN JADI PENGHAYAL SEJATI!!!”

Tepatnya, yang kurasakan, Halim seperti menyuruhku untuk jangan menjadi seorang escapist sejati. Yah…. Aku memang seorang escapist sejati. Membuat dunia khayalanku, dan lari dari kenyataan yang ada didepanku. Bahkan, Budi pun masuk sebagai actor utama dunia khayalku. Cerita kampus pun terilhami dari langit. Si kudil Halim, dia terpilih jadi pemeran pembantunya. Lantas siapa aku?? Aku tak tahu. Mungkin lain kali akan kujadikan kau sebagai tokoh dalam dunia khayalku. Namun yang pasti, aku adalah orang yang tlah terjerat selamanya dalam dunia khayal yang begitu nyata.