Pages

Selasa, 28 Juli 2009

MENJADI PROFESOR





Salah satu hal yang paling saya suka ketika saya main ke jogja adalah pertemuan saya dengan keponakan sulung saya. Dan tugas yang pasti diberikan pada saya adalah “momong”. Di depannya saya awalnya yang 100% waras jadi 100% gila. Bagaimana tidak? ketika saya lontarkan pertanyaan yang harusnya dia jawab, malah saya yang harus menjawab. Mirip orang gila yang menimang bonekanya. Dan beberapa kali saya harus berlagak seperti ayam, kuda, burung, dan kucing untuk menghiburnya sekaligus memberikan pemahaman padanya tentang perbedaan hewan2 itu (meskipun pemerannya adalah satu tokoh)
Melihat detik2 perkembangannya membuat saya berkhayal, ”kalau sudah besar akan jadi apa dia?” yah pastinya masih akan jadi manusia tulen bukan jadi2an sperti saya. Disela2 momong, saya teringat sms kawan seperjuangan tentang analogi bayi professor dengan umatkebangkitan. Ketika itu saya mengiriminya sms terlebih dahulu, yang singkatnya berisi semangat untuk menegakkan kembali khilafah demi diterapkannya aturan Allah secara kaffah. Dan dia menjawab :” Seorang professor, dulunya adalah seorng bayi yang belajar merangkak, berjalan, baru kemudian berlari. Yang dulunya hanya bisa menangis, berbicara terbata bata, baru kemudian berbicara dengan lancer layaknya orang dewasa. Begitu juga umat ini, butuh proses. Tak bisa langsung menegakkan islam di bawah naungan daulah.”
Yah saya hanya bisa menanggapi dengan balik bertanya: “ Lantas apa bedanya preman dengan professor?”




Maksud saya adalah ketika kawan sy menerangkan bahwa seorang profesor dulunya adalah bayi yang belajar merangkak, berjlan kemudian berlari, mka bukankah preman dulunya juga belajar berjlan, merangkak, kemudian berlari?Dimana bedanya dari segi ini? TAK ADA. Lantas kenapa bayi yang satu menjadi profesor dan yang lain menjadi preman?
Pastilah sebelum menjadi profesor, sang bayi mendapat didikan dari orangtuanya. Pastilah dy memang diarahkan untuk menjadi seseorang yang berpendidikan, intelek dsb. Atau mungkin juga lingkunganlah yang mendidik dan mengarahkannya, hingga dalam diri sang bayi tertancap tekad untuk menjadi profesor.
Berbeda dengan preman yang kemungkinan besar ia tak mendapat didikan dari kedua orgtuanya. Atau mungkin pula dia menjadi korban kesalahan dalam proses mendidik dan korban lingkungan yang membuatnya bermasadepan sebagai seorang preman.
Maka, menganalogikan proses bayi menjadi profesor dengan proses kebangkitan umat menjadi tidak tepat. Karena bukankah semua bayi pun akan mengalami proses yang demikian itu? Lantas dengn proses yang sama, apakah semua bayi itu menjadi profesor saat dewasa? Tentu tidak. Masa depan bayi bergantung pula pada siapa yang mendidik dan apa yang dididikkan padanya. Kemudian muncul pertanyaan lagi dalam benak sy, apakah proses umat menuju kebangkitannya akan berjlan alami seperti proses si bayi yang dari tidak bisa bicara menjadi bisa bicara, yang dari merangkak kemudian bisa berjlan kemudian baru berlari? Bukankah pertumbuhan sang bayi pun akan tersendat bila tidak ada stimulus atau rangsangan dari pendidik ato pengasuhnya?Lantas proses umat menuju kebangkitan hakikinya pun akan terhambat jika kita sebagai org yg lbh dulu paham tidak mendidiknya dengan benar? Jadi, bukankah tugas kita bersama untuk mendidik umat dengan cara yang benar? Dengan metode yang benar? Dan dengan tsaqafah islam yang kaffah dan benar? Bukankan ketika hanya mendidik umat dengan memberikan pengetahuan islam yang hanya parsial itu sama saja dengan kita menganggap bahwa umat tdk pernah tumbuh alias jadi bayi selamanya?
Maka kawan, apakah salah ketika saya berkoar pada seluruh penduduk di penjuru dunia untuk menegakkan islam secara kaffah dibawah naungan khilafah? Jika seluruh aktivis berpikiran sama dengannya, maka bukankah tak ada satupun umat ini yang tahu bahwa kemenangan hakiki adalah dengan tegaknya aturan Allah secara kaffah dan bukan kemenangan suatu partai dalam parlemen?
Meskipun sy berkoar demikian, bukan lantas sy tak tahu step ap yg harus sy tempuh sbg permulaan dakwah di suatu tempat terkait materi yang di dakwahkan. Hal ini hanyalah masalah uslub alias cara. Sehingga, tak akan berbeda islam yang dipahami antara masyarakat kota dengan masyrakat desa. Sekali lagi kita bermain dengan ”cara berdakwah”. So, meskipun yang kita dakwahi adalah org2 miskin, kita tak punya hak untuk mengatakan ” Org kelaparan kok diajak ke seminar tentang khilafah, yo ora tekan!”
Jadi seperti apapun uslubnya yang penting haruslah bertujuan dan bertarget.